Ada Apa Kalla?

Unik. Jum’at malam tanggal 16 Maret 2007 lalu, di rumah Wapres Jusuf Kalla berkumpul tokoh-tokoh masyarakat Minangkabau dari berbagai kalangan. Ada Gubernur, pengusaha, menteri, birokrat, anggota DPR serta walikota dan bupati se Sumatera Barat. Agendanya cuma satu: mencari dana untuk membangun kembali Istana Basa Pagaruyung di Batusangkar yang musnah dilalap si jago merah 27 Februari lalu. Dalam acara itu, dana 20 Milyar Rupiah yang dibutuhkan sukses terkumpul. Ada 500 juta dari Fahmi Idris, ada 1,5 Milyar dari Bachtiar Chamsyah, dan 1 Milyar dari Solihin putra Kalla. Kalla sendiri menyumbang 1 Milyar.

Unik. Karena Jusuf Kalla bertindak sebagi pengundang dan tuan rumah. Padahal sebagaimana kita ketahui, pertemuan itu adalah pertemuan tokoh Minangkabau untuk menggalang dana bagi pembangunan kembali Istana yang adalah milik orang Minangkabau dan berada di Ranah Minang. Sementara Kalla bukanlah orang Minang. Kalla adalah orang Bugis tak bercampur dari Watampone Sulawesi Selatan yang tidak akan punya tanggungjawab terhadap Istana Minang.

Memang, sebagai wapres yang notabene hari ini memerintah Indonesia, Kalla tentu bertanggungjawab. Namun tentu bukan pribadi Kalla. Karena sebagai pemerintah bukankah hal ini lebih pantas digarap oleh Kementerian Pariwisata yang dipimpin Jero Wacik? Namun jikalau harus berupa penggalangan dana, bukankah yang lebih berhak adalah pengurus Gebu Minang? Mengapa harus Kalla? Ada juga yang mengangap begini, Istri Kalla, Ibu Mufidah Kalla kan orang Minang, jadi sebagai urang sumando, Kalla harus turut bertanggungjawab apalagi putra-putri Kalla adalah orang Minang berdasarkan prinsip matrilineal di Minangkabau. Jika itu alasannya, mengapa harus begitu? Ibu Mufidah Kalla sendiri sudah tidak tinggal di Ranah Minang lagi bahkan sudah menjadi orang Makassar semenjak ayahnya –Buya Miad- hijrah ke Sulawesi Selatan.

LALU MENGAPA KALLA?
Urusan fasilitas-memfasilitasi seperti di atas tampaknya memang hobi Kalla. Masih ingat Malino I dan Malino II di Poso? Itu adalah kerjaan Kalla. Perannya sebagai Menkokesra waktu itu sangat menonjol sehingga ada perdamaian –walaupun kemudian rusuh lagi- di Poso. Atau mungkin yang masih dekat adalah MoU Helsinki yang digagas melalu usaha damai Kalla? Berlarutnya kasus Aceh karena dihadapi secara militer pada zaman DOM di zaman Soeharto, dan Darurat Militer di zaman Megawati jadi cair setelah upaya awal diplomasi yang dipimpin Kalla melalui Hamid Awaluddin. Kalau mau agak dekat lagi, anda ingat perseteruan antara KH. Zainuddin MZ dengan Zaenal Maarif pasca Muktamar I PBR? Perseteruan itu berakhir setelah difasilitasi oleh Aksa Mahmud yang adalah adik ipar Kalla. Tentu saja proses ini terwujud atas inisiatif Kalla. Bayangkan, Ketua Partai Golkar mendamaikan PBR. Benar-benar gila..he..he.

Sepertinya Kalla punya tujuan untuk itu. Apakah ada hubungan dengan upaya meraih dukungan di 2009? Kalla mengkooptasi dengan berbagai cara yang mungkin dilakukan. Perhatikan di Aceh pasca Tsunami. Kalla bertindak bak seorang presiden lalu beberapa waktu lalu di hadapan peserta Rakernas Partai Demokrat, Kalla cuci tangan atas lambannya SBY. Ada apa ini? Mungkinkah Kalla sedang menebar jasa dan menggalang dukungan? Atau kah memang ada kemurnian niat di sana? Akhirnya sejarah yang akan berbicara

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts