Demokrasi, Selembar Kaos dan Uang Rp. 50.000,-

Seorang Caleg
Seorang Caleg incumbent sebuah Partai Politik bersaing kembali di Pemilu 2009. Berbeda dengan Pemilu sebelumnya dimana yang bersangkutan menjadi anggota DPRD Kabpaten, di Pemilu ini ia bersaing untuk DPRD Propinsi. Tapi sayang ia kalah dari seorang pengusaha yang baru kali ini jadi caleg.
Selama sang incumbent menjadi wakil rakyat, infrastruktur ke daerah pemilihannya dibangun dan diperbaiki. Fasilitas jalan yang merupakan satu-satnya akses ke dua kecamatan yang menjadi dapilnya sebelumya dipenuhi jebakan lobang menganga sekarang telah mulus. Jembatan besar yang kalau ia tak ada, maka matilah akses ke kecamatan itu juga dibangun. Fasilitas pendidikan diperbaiki dan ditingkatkan alokasinya dalam anggaran sehingga mampu bersaing dengan sekolah lain di lain kecamatan. Belum lagi fasilitas keagamaan dan promosi budaya lokal. Pendek kata, selama yang bersangkutan menjadi anggota legislatif, banyak hal yang telah diperbuatnya.

Tapi itu bukan jaminan bagi kemenangannya di Pemilu berikutnya. Suaranya hilang. Pasalnya sederhana, masyarakat merasa tak mendapatkan apa-apa dengan memilihnya karena ia tak mampu membagi-bagikan kaos pada masyarakat di dapilnya. Sesungguhnya ia mencetak kaos juga seperti caleg lainnya. Namun karena terbatasnya dana, jumlah kaos itu tak sebanding dengan jumlah mereka yang meminta kaos. Sementara, penantangnya –seorang pengusaha- mampu membagi-bagikan kaos, kerudung dan uang transport pada masyarakat.

Infrastruktur dan selembar kaos
Manakah yang lebih berharga antara infrastruktur dan selembar kaos? Karya sang caleg incumbent melalui perjuangannya di legislative pastilah sangat bernilai. Adanya jalan, jembatan dan fasiltas pendidikan serta social budaya yang memadai, pastilah lebih bernilai daripada selembar kaos dan uang Rp. 50.000. Dengan infrastruktur, masyarakat sebenarnya berpeluang meningkatkan taraf hidupnya bahkan sanggup untuk membeli lebih dari selembar kaos. Tapi sayang, karya selama lima tahun harus pupus ditelan selembar kaos.

Demokrasi dan Pendidikan Politik
Cerita di atas bukan cerita rekaan. Ia terjadi secara factual. Namun inilah produk demokrasi yang dijalankan dalam masyakarat yang secara umum belum memiliki kecerdasan politik. Alih-alih meningkatkan kualitas hidup, demokrasi justru membawa masyarakat pada pilihan yang berjangka pendek dengan efek jangka pendek pula. Pragmatisme sempit telah membuat masyarakat di dapil ini menggadaikanmasa depannya hanya seharga Rp. 55.000 ( Rp. 50.000 uang transport + selembar kaos berbahan Hijet 100 seharga Rp. 5.000).

Equalitas
Demokrasi dijalankan atas asumsi equalitas. Sejumlah orang dengan pemahaman yang sama membuat keputusan secara besama untuk sesuatu yang dipahami secara bersama pula. Demokrasi seperti ini akan efektif pada komunitas yang sama-sama terpapar informasi dan memiliki taraf kecerdasan yang serupa. Apakah sama nilai sikap dan pilihan seorang pakar kebijakan pembangunan yang paham dengan efek dan konsekuensi sebuah kebijakan dibandingkan dengan mereka yang bahkan tak pernah mengetahui apa kepanjangan dari kata " PERDA" ? Jika asumsi equalitas tak terpenuhi, maka demokrasi bisa saja membawa sebuah bangsa pada jurang kehancuran.

Alangkah menakutkannya jika masa depan diletakkan di tangan orang yang membuat putusan hanya dengan hitung kancing. Jangan-jangan kita sedang bermain dadu.

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts