Label Halal

Issu dendeng babi yang menyeruak beberapa minggu terakhir menyisakan kemirisan betapa sebagian warga bangsa kita dengan mudahnya membelakangi langit. Mencoba menipu untuk mendapatkan sekerat keuntungan, mengelabui banyak orang untuk selanjutnya dicerca ramai-ramai. Lebih parahnya lagi, menggunakan label halal sebagai penutup keharaman produknya.

Dalam suatu suatu dialog di Metro TV, seorang intelektual muslim menyarankan untuk meniadakan label halal. Kontan hal ini ditolak oleh salah seorang Ketua MUI KH. Ma'ruf Amin. Intelektual Muslim ini menyatakan bahwa sebaiknya setiap produsen diharuskan membubuhkan ingredients dari produknya dan biarlah konsumen sendiri yang menilai halal atau tidaknya, bukan dengan intervensi MUI karena MUI bukan wakil Tuhan.



Argumen yang dikemukakan oleh Intelektual kita ini sepintas masuk akal. Apalagi sekarang sedang berkembang trend kebebasan pribadi, hubungan personal dengan Tuhan tanpa intervensi dari pihak manapun sampai dengan persoalan legitimasi lembaga fatwa. Namun jika ditilik lebih lanjut akan ada beberapa kendala :

  1. Jika produsen diwajibkan hanya mencantumkan ingredients, maka konsumen diwajibkan mengerti tentang ingredients itu beserta turunan dan asalnya. Misalnya jika disebutkan bahwa dalam satu produk disebutkan adanya Natrium Benzoat, maka konsumen harus paham apa itu Natrium Benzoat, dan paham pula muasal dan turunan zat ini. Kalau begini ceritanya, maka hanya mereka yang lulus pelajaran kimia saja yang layak berbelanja di pasar.
  2. Kalaupun produsen menyebutkan ingredientsnya, maka apakah dengan serta merta konsumen dapat mengetahui prosesnya? Nilai kehalalan suatu produk sebenarnya tidak hanya pada materi produk itu, namun juga prosesnya. Misalnya kornet daging sapi. Kita mengetahui bahwa daging sapi itu halal, namun apakah bisa diketahui bahwa sapi itu benar-benar disembelih dan diolah sesuai cara yang shar'i? Apakah sapi itu disembelih dengan nama Tuhan? Apakah pengolahannya menggunakan mesin yang tak terpisah dengan pengolah babi misalnya? Atau apakah jika kasusnya ayam, ayamnya mati disembelih, atau dicekik, atau dipukul, atau ditusuk duburnya? Dalam Islam, cara matinya saja berpengaruh pada tingkat kehalalan suatu produk. Nah jika begini keadaannya, terpaksa semua konsumen harus mendatangi semua pabrik satu per satu sembari mengintip semua proses produksi sampai yakin akan kehalalannya.
  3. Dua pengetahuan itu saja tak cukup. Setelah mengetahui ingredients dan proses, konsumen juga harus menimbang produk itu dengan hukum syariah. Mengkaji, memeriksa dan menginstinbat hukum untuk kepentingan pribadinya. Oleh karena itu, konsumen terpaksa harus membeli buku-buku fiqih dan membawanya setiap berbelanja agar tak salah beli. Atau jika itu tak bisa, maka terpaksa hanya mereka yang lulusan pesantren saja yang bisa shopping.

Sungguh aneh sang intelektual kita ini. Seharusnya, ia hanya mengemukakan ide secara utuh dengan berbagai pertimbangan dan analisis sampai ke sisi praktis, bukannya melempar ide yang belum matang untuk sekedar senam otak dan cari popularitas dengan sensasi.

Post a Comment

2 Comments

  1. Barangkali yg jadi pertimbangan intelektual itu adalah pola pikir kita yg korup. Dalam beberapa kasus, bahkan labelisasi ini dijadikan "objekan", sebagaimana pada inudstri haji dan umrah. Kenapa saya bilang industri? Karena banyak yang menjadikannya sumber penghasilan. Sekedar bertanya, apa industrialisasi agama merupakan bagian dari tertolaknya sekularisme dalam pemikiran ulama kita, ataukah itu justru dampak dari sekularisasi?

    ReplyDelete
  2. menurut hemat saya, tak perlu membakar lumbung untuk membubuh tikus. Artinya, jika problemnya adalah masalah manejerial, akuntabilitas dan pengawasan, maka sepatutnya masalah itu sajalah yang yang perlu dipecahkan. Menghilangkan labelisasi halal justru sama dengan membakar lumbung.
    Penghilangan labelisasi halal dapat disamakan dengan membubarkan seluruh rumah sakit untuk hanya karena adanya malpraktik.

    ReplyDelete

Recent Posts