Tilawatul PPP

Kiprah PPP dalam perpolitikan Indonesia diwarnai pasang naik turun. Partai ini dilahirkan melalui “fusi paksa" kelompok spirituil-materil di DPR, berjaya di 1977 dan 1982, gembos di 1987, dingin di 1992 dan menanjak di 1997 namun senyap ditelan reformasi.

Pada tahun 1973 sampai 1978 partai ini menjadi kelompok oposisi yang cukup berwibawa pada pemerintah Orde Baru. Kasus UU Perkawinan 1974 memperlihatkan ketegasan sikapnya sehingga cukup menjadi harapan khususnya bagi mereka yang dilamun kecewa pasca berakhirnya Masyumi. Ada harapan bahwa partai ini menjadi reinkarnasi Masjumi seperti idea kalangan Islam Politik. Masa "jaya" PPP secara ideologis ini masih dilanjutkan dalambentuk aksi walk-out saat penetapan UU Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P4).

Namun sikap ini makin melemah setelah menguatnya Soeharto. Satu per satu tokohnya mulai diam baik karena terpaksa atau karena takut. Akan tetapi bukan berarti aksi "berani" PPP pupus sama sekali. Di tahun 1987, PPP mencalonkan Jailani Naro -Ketua Umum PPP saat itu- sebagai Wakil Presiden melawan Soeharto yang merestui Ketua Golkar, Sudharmono, SH. Walaupun akhirnya pencalonan itu dibatalkan setelah mendengar "saran" dari Mandataris MPR, PPP jelas menunjukkan keberanian di tengah "seramnya" lorong politik waktu itu. Tetapi pada Pemilu 1992 dibawah kepemimpinan Buya Ismail Hasan Metareum, PPP justru berubah menjadi partai sejuk yang jinak. PPP sepertinya mulai pasrah sehingga buru-buru mencalonkan Soeharto saat Golkar sendiri masih belum mengumumkannya.

PPP dilahirkan dari penyatuan aktifitas politik empat Partai Islam -Nahdhatul Ulama (NU), Partai Muslimin Indonesia (PARMUSI), Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII), dan Partai Islam Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI)- pada Pemilu 1971. Fusi ini bukannya menyatukan pandangan politik, malah terus-menerus menciptakan ketidakstabilan. Melalui proses yang tak terlalu jelas pada tahun 1979, Ketua Umum PPP, HMS Mintaredja, SH menyerahkan jabatan Ketua PPP sekaligus Ketua Muslimin Indonesia (MI) pada H. Jailani Naro (Al-Washliyah) yang sepuluh tahun sebelumnya bersama Imron Kadir -kemudian disebut Naro-Kadir (NAROKA)- pernah mengkudeta pasangan Djarnawi Hadikusumo - Lukman Harun (kedua-duanya Muhammadiyah) sebagai Ketua Umum dan Sekretaris Jenderal Parmusi.

Setelah menerima jabatan dari Mintaredja, Naro membuat berbagai kebijakan yang menegasikan peran NU. Posisi Sekretaris Jenderal diisi oleh Mardinsyah, sama-sama dari MI dan sama-sama dari Sumatera Barat pula. Banyak nama caleg dari undur NU dicoret dari DCT di Pemilu 1982 yang mengakibatkan turunnya suara PPP dari 99 kursi di Pemilu 1977 menjadi 92 di Pemilu 1982. Tindakan Naro semakin menggila. Dengan mengunakan unsur MI (ormas hasil ganti kelamin PARMUSI), Naro menggelar berbagai kebijakan kontroversial. Salah satunya menyelenggarakan Mutamar I PPP di Ancol yang pesertanya ia tentukan sendiri. Dalam Muktamar itu posisi Presiden Partai yang dijatah untuk NU dihapuskan. NU menggeliat melawan dan akhirnya pada Muktamar NU di Situbondo memutuskan untuk keluar dari PPP dan kembali menjadi organisasi sosial sesuai Khittah 1926. Pilihan itu mengembosi suara PPP di Pemilu 1987 menjadi hanya 62 kursi.

Kendati keluar dari PPP, bukan berarti NU menghilang sama sekali. Bahkan pertentangan antar unsur khususnya antara MI dan NU tetap tinggi sampai tahun 1998. Selain dari kubu NU, di kalangan MI sendiri juga muncul ketidakpuasan pada Naro. Para pentolan MI yang umumnya mantan PII dan HMI menyatukan langkah menendang Naro di Muktamar II PPP tahun 1999. tebentuklan kelompok delapan (kodel) yang secara serius mendepak Naro. Anggota kelompok ini meliputi Hartono Mardjono, Husni Thamrin, Aisyah Amini, Muhammad Sulaiman, Jusuf Syakir, Faisal Baasir, Muchsin Bafadhal dan Ismail Hasan Metareum dan mengajukan Hartono Mardjono sebaga Ketua Umum. Namun sayang, dalam Muktamar itu, meski Naro tumbang, Hartono Mardjono tidak terpilih sebagai Dewan Formatur. Melalui intervensi Mendagri Rudini sebagai Pembina Politik, Ismail Hasan Metareum didapuk sebagai Ketua Umum PPP didampingi Matori Abdul Jalil dari NU sebagai Sekretaris Jenderal.

Konflik NU dan MI tetap menguat. Untuk menengahinya, ada konvensi sebagai solusi yakni pembagian jabatan. Di tingkat DPP, Ketua Majelis Pertimbangan adalah jatah NU, Ketua Umum selalu diperebutkan walau faktanya tetap di tangan MI dan Sekjend di tangan NU. Model ini tetap berlangsung sampai periode kedua Buya Ismail dimana Tosari Widjaja (NU) sebagai Sekjendnya. Pembagian ini juga sampai ke tingkat cabang. Jika suatu cabang diketuai NU, maka sekretaris di tangan MI, begitu juga sebaliknya. Untuk kasus Sumbar, posisi NU diganti PERTI.

Perubahan terjadi setelah era reformasi dengan menempatkan Hamzah Haz (NU) menjadi Ketua PPP. Sebagai kompensasinya, posisi Ketua Majelis Pertimbangan dan Sekjend dijabat oleh MI masing-masing Buya Ismail Hasan Metareum dan Ali Marwan Hanan. Setelah Muktamar 2003, konfigurasi menjadi lebih cair karena adanya penambahan lembaga yakni Majelis Pertimbangan dipimpin oleh Buya Ismail Hasan Metareum (MI), Majelis Syariah dipimpin KH. Maemun Zubair (NU), Ketua Umum Hamzah Haz (NU), Wakil Ketua Umum Ali Marwan Hanan (MI) dan Sekum M. Yunus Yosfiah (Non Unsur). Konfigurasi ini tetap dipertahankan setelah Muktamar 2006 yang menempatkan Bachtiar Chamsyah (MI) sebagai Ketua Majelis Pertimbangan, KH. Maemun Zubair di Majelis Syariah, Surya Dharma Ali (NU) sebagai Ketua Umum dan Irgan Chairul Mahfidz (MI) sebagai Sekjend. Pola tahun 2003 dan 2006 tampaknya mulai mencair. Salah satu buktinya, Ali Marwan Hanan justru lebih memilih mendukung Hamzah Haz ketimbang Bachtiar Chamsyah yang seunsur sebagai Ketua Umum. Pertimbangan pragmatis menyangkut bagi-bagi kursi dan kalkulasi dukungan menjadi pertimbangan utama dibandingkan keunsuran. Di tahun 2006, Bachtiar Chamsyah sebagai Ketua Umum Parmusi mengarahkan dukungan pada Surya Darma Ali.

Diantara ketiga partai sisa orde baru, PPP paling babak belur. Suaranya selalu turun dari 89 kursi di Pemilu 1997, 58 kursi di Pemilu 1999 dan 58 kursi di Pemilu 2004. Meski jumlah kursi di 1999 dan 2004 sama, sebenarnya suara PPP menurun. Kesamaan jumlah kursi lebih karena nasib baik PPP dalam kalkulasi kursi. Memang, dalam kalkulasi, seringkali Partai Rural lebih diuntungkan dibandingkan Partai Urban. Sebagai contoh, meski suara PKS lebih banyak dibandingkan PAN, namun di DPR kursi PAN lebih besar. Lalu kemana suara PPP?

PPP tak perlu bangga dengan peningkatan kursi sekitar 30 % pada tahun 1997 karena peningkatan ini dibayar dengan jatuhnya 60 % suara PDI. Sentimen Mega Bintang yang dimainkan Mudrick Sangidu, Ketua PPP Solo mengakibatkan hijrahnya suara PDI ke PPP. Dengan demikian, peristiwa 27 Juli di Kantor PDI yang secara kebetulan berada di sebelah Kantor PPP menjadi berkah tersendiri. Begitu datang Reformasi, massa PPP terpecah. Unsur NU menyebar menjadi PKB, PNU, dan PKU. Unsur MI menyebar menjadi PBB, Masyumi, Masyumi Baru, dan PAN. Unsur SI menyebar menjadi PSII dan PSII-1905. Sementara unsur PERTI sudah tak berdaya karena sudah lebih dulu dipecah oleh orde baru menjadi Tarbiyah Islamiyah yang menjadi pendukung Golkar dan PERTI yang tetap di PPP. Selain perpecahan yang melibatkan elit, perpindahan juga terjadi di tingkat akar rumput misalnya ke PK yang walaupun secara elit bukan pecahan PPP, namun massa ini sebelumya diduga menyalurkan suara ke PPP. Di 2004, PPP makin babak belur dengan hadirnya PBR Zainuddin MZ.

Di Pemilu 2009, PPP mengancam akan bangkit, salah satunya dengan kembalinya banyak tokoh seperti Rhoma Irama, Zainuddin MZ, Noer Iskandar SQ, Syukron Ma'moen, Noer Iskandar SQ dan masuknya para artis seperti Denada, Emilia Contesa, Ratih Sanggarwati, Oki Asokawati dan Marissa Haque. Akankah PPP mampu, saya tidak yakin.

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts