Kali Pertama Bike To Work : Bagian 1 Perjalanan Berangkat

Ini kali, saya hendak bercerita tentang pengalaman baru bagi saya ber-bike to work (BTW) alias bersepeda ke tempat kerja. Sebenarnya sudah lama keinginan ini muncul tapi ada saja kendalanya.



Kendala pertama adalah soal work. Saya lama bekerja secara tidak tetap alias melala ke sana kemari saja, tidak punya homebase. Saya bekerja di depan laptop di rumah dan kemudian hasil pekerjaan itu disubmit via email ke pemberi kerja. Kadang diundang untuk menghadiri rapat membicarakan pekerjaan bila komunikasi via telpon/sms/wa dianggap tidak memadai. Nah, hasilnya tidak punya kantor yang benar-benar saya punya meja di sana. Kalau meja saja tidak punya, bagaimana caranya hendak mandi di kantor? Padahal bila ber-BTW, mandi di kantor ialah sebuah keniscayaan.

Kendala kedua karena saya tidak punya sepeda. Ada sih sepeda istri jenis citybike. Kata orang kita itu sepeda perempuan. Sebenarnya tidak. Sepeda itu adalah sepeda yang dirancang untuk daerah perkotaan yang berkontur rata, aspal mulus, dan tidak butuh energi kayuhan yang kuat. Oleh karenanya sepeda jenis ini tidak dilengkapi gear yang banyak, hanya tiga saja. Di bagian depannya terpasang keranjang. Cantik bin Sexy. Tapi Depok ke Jakarta itu tak serata Amsterdam. Ada tanjakan dan turunan yang cukup curam. Jika sepeda itu dipaksakan, saya takut jika ia tiba-tiba mengeluarkan suara, "Hayati lelah, Abang."

Sejak beberapa tahun lalu saya turut dalam grup FB Sepeda Federal Indonesia. Itu lho sebuah sepeda jadoel yang sudah tidak diproduksi lagi sehingga menjadi barang antik. Sepeda ini handal mengalahkan aneka medan dan lazim menjadi semacam sepeda turing bagi kalangan yang belum mampu membeli sepeda turing beneran bermerk Surly. Saya berhasil mendapatkan sepeda Federal seken dari OLX. Petualangan menemukan sepeda federal yang ori ternyata adalah sebuah sensasi tersendiri. Selama tiga tahun sepeda itu saya rebuild sedikit demi sedikit karena posisi keuangan yang juga sempit.

Baiklah, karena bulan lalu sepeda federal ini sudah selesai direpaint, maka saatnya dipakai ber-BTW.

Sehari sebelum ber-BTW saya masih belum benar-benar yakin akan menjalaninya. Belum ada perlengkapan semacam panier, tidak punya helm sepeda, dan saya masih ragu apakah cukup energi untuk menjalaninya. Tapi entah kenapa pagi itu dorongan untuk berBTW sudah tak terbendung lagi. Jadi selepas bangun shubuh, saya baru mulai packing-packing

Jarak rumah ke tempat kerja sekitar 75 km. Kalau profesional mungkin bisa menempuhnya dalam 4 jam lebih kurang. Saya orang baru, dan sepeda ini tidak didesain seperti sepeda balap yang mampu melahap jarak panjang dalam waktu pendek. Pernah saya ketemu dengan pe-BTW yang menempuh jarak 42 km dari rumahnya ke kantor dalam waktu 2 jam tapi saya lihat sepedanya sepeda balap. Saya tak yakin bila Federal dengan ban 26 x 1.5 mampu secepat itu. Saya ambil angka pesimis saja bahwa kecepatan rata-rata saya hanya 10 km/jam, plus istirahat makan dan shalat saya butuh waktu sekitar 9 jam hingga sampai di tempat kerja. Ini mah sudah turing mini, bukan BTW lagi. Alternatifnya, saya hanya akan berBTW sampai tempat pemberhentian Bus terdekat yang jaraknya 17 km dari rumah. Di sana saya akan titip sepeda di tempat penitipan motor, mandi, lalu melanjutkan perjalanan dengan Bus. Ini pilihan yang paling realistis.

Perlengkapan saya packing. Karena tidak ada panier, peralatan mandi dan pakaian kerja saya lipat dan masukkan ke sisa goody bag yang ada di rumah. Goody Bag saya ikatkan ke rear rack menggunakan jaring yang biasa dipakai mengikat helm di motor. Di backpack ada laptop, buku bahan ajar, dan sepatu. Air minum dengan botol aqua menempel di bidon yang ukurannya teralu lebar sehingga botol aqua terpasang longgar. Biasanya, bila ada getaran botol ini akan terjatuh. Sebagai pengganti helm biasanya saya pakai topi tapi pagi itu topi itu entah kemana. Topi dinas istri pun saya sambar. 

Selanjutnya urusan rute. Dari Google Maps saya setting rute pejalan kaki dan muncul 3 pilihan. Pilihan terpendek belum tentu yang paling nikmat karena rute ini biasanya tidak mempertimbangkan kontur serta ukuran jalan. Kalau konturnya naik turun akan lumayan melelahkan. Begitu juga bila ukuran jalannya kecil, kita akan kesulitan memacu sepeda dengan cepat. Akhirnya saya memilih jalan berdasar feeling saja. Di GoogleMaps terpampang kiraan jarak tempuh berjalan kaki sekitar 3.5 jam, saya perkirakan dengan sepeda bisa ditempuh 1.5 jam.

Saya terlambat berangkat karena bingung menyusun bawaan. Baru pukul 6.50 pagi berangkat dari rumah. Ndak apa-apa sih toh jam ngajar nanti pukul 13.00. Baru 10 menit perjalanan, muncul satu keluhan. Pundak terasa sakit karena beban laptop plus chargernya dan buku daras. Saya berhenti lalu memindahkan buku daras ke Goody Bag bersama pakaian kerja. Perjalanan dilanjutkan meski tetap terasa berat dengan laptop di punggung. Untuk mensiasatinya saya duduk dengan posisi pantat agak ke depan sehingga backpack menumpu pada ujung belakang sadel. Lumayan mengurangi beban dengan kompensasi luas penampang yang menahan pantat jadi berkurang. Jika menggunakan rumus P = F/A, dimana F = M x g, maka tekanan yang dirasakan pantat akan lebih tinggi sehingga menimbulkan rasa cenat-cenut. Tapi ya dijalani saja karena bulat sudah tekad.

Setelah menyeberangi jalan Siliwangi, saya memasuki jalan kecil yang saya pikir mengarah ke Jl. Raya Bogor. Jalannya cukup mulus dan luas. Tapi kok lama-lama makin kecil ya.. Dan benar saja tak lama kemudian bertemu dengan turunan sempit hingga ke sebuah jembatan kecil. Sialnya, setelah melewati jembatan diikuti tanjakan curam nan panjang. Jalan ini sempit tak dapat dilewati mobil. Nafas saya tersengal-sengal keringat mengucur deras apalagi saya memakai jaket yang biasa dipakai kalau saya naik motor. Mengganti gigi di tanjakan bukanlah pilihan yang baik karena saya pernah melakukan hal itu beberapa waktu lalu dan ternyata membuat rantai putus. Untunglah setelah tanjakan panjang itu saya mulai mencium aroma asap mobil. Jl. Raya Bogor sudah dekat.

Memasuki Jl. Raya Bogor perjalanan makin asyik. Tidak terlalu ramai dan tidak juga terlalu sepi. Saya ambil posisi paling kiri. Namun dilemanya banyak angkot berhenti sembarangan. Kadang mereka menyalip lalu tiba-tiba menepi berhenti sehingga saya terpaksa mengerem mendadak. Di sekitar Pasar Cisalak, sebuah kendaraan pribadi berjalan lambat, ketika hendak disalip ia menambah laju kendaraannya sehingga saya melambat untuk mengambil posisi di belakang, tapi setelah itu lagi-lagi ia melambat. Sebel nggak? Iya sebel.

Pukul 7.30 perbatasan Depok - Jakarta berhasil dilewati. Terlihat di arah yang berlawanan ada juga yang berBTW. Perempuan sepertinya. Muncul godaan untuk sekedar memberi sapaan melalui bel tapi diurungkan karena takut mbaknya terpesona (cie...) sama sepeda saya yang klimis. Tak jauh dari perbatasan ada sebuah gerobak Ketupat Sayur Padang. Ingin sarapan sih, tapi lagi-lagi diurungkan. Nanti saja di Pasar Rebo. Keputusan ini kemudian saya sesali karena berakibat pada kejadian yang lebih dramatis di sore harinya, menjelang balik.

Perjalanan terus dilanjutkan, kayuhan demi kayuhan dinikmati sambil sesekali mengatur posisi pantat karena backpack yang berisi laptop itu terus melorot. Bila ia melorot dari bagian belakang sadel, bebannya kembali menekan pundak dan segenap tulang belakang. Punggung dan pinggang terasa pegal. Namun itu semua tak lama. Pada 7.50, Mall Graha Cijantung terlihat di sebelah kiri. Di depan ada lampu merah dan sepelemparan batu dari lampu merah itu telah terlihat Flyover Pasar Rebo. Yihaaa, perjalanan ini berhasil dilewati. Perhentian di dua lampu merah menjelang Flyover cukup menyita waktu rupanya sehingga saya baru tiba di parkiran Pasar Rebo pukul 8.10. Itu artinya durasi yang terpakai dari Depok ke Pasar Rebo adalah sekitar 1 jam 20 menit, sepuluh menit lebih cepat dari estimasi awal. Tidak terlalu kalah dari sepeda motor sebenarnya di jam sibuk ini. Biasanya saya habiskan waktu 45-50 menit dengan sepeda motor. 

Setiba di parkiran, titip sepeda, lalu berehat sebentar. Jaket dibuka dan terlihat segenap kaos dan celana sudah basah. Sauna yang sempurna. Sepuluh menit berehat cukuplah, saya lalu mandi dan meninggalkan parkiran mencari sarapan. Alamak, tak ada kelihatan lontong sayur Padang. Kalau mencari sarapan lebih jauh, saya takut jika tiba-tiba busnya lewat dan saya ketinggalan bus. Saya harus mencari sarapan yang dapat dibawa kut naik bila busnya datang. Popmie menjadi pilihan. Dan ternyata itu pilihan yang salah yang menciptakan drama tersendiri saat hendak balik nantinya.

... bersambung

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts