Melihat Shalat Jum'at Kaum Syiah di Jakarta

Apakah benar orang Syiah tidak Shalat Jum'at? Bagaimana sih cara orang Syiah melakukan Shalat Jum'at? Penasaran dengan hal tersebut,  penulis bertandang ke gedung Islamic Cultural Center (ICC) Jakarta, gedung pusat kegiatan kaum Syiah di bilangan Buncit Raya Jakarta yang tidak jauh dari kantor Harian Republika itu.

Shaf Jumatan dengan protokol Covid19

Siang hampir menjelang. Penulis yang kebetulan sedang ada agenda di Jakarta menyempatkan diri untuk melihat dari dekat bagaimana aktifitas kaum Syiah di hari Jum'at. Maklumlah sumber informasi tentang mereka di internet amat terbatas. Kalaupun ada yang banyak adalah informasi dari pihak lain selain mereka sendiri tentang mereka. Jarang ditemukan informasi yang berasal dari kalangan mereka sendiri. 

Gedung ICC Jakarta

Saat penulis masuk ke gerbang gedung, penjaga membuka pagar lebar untuk sebuah mobil. Di samping pagar yang lebar itu juga ada pintu kecil. Sepertinya untuk pejalan kaki. Penulis masuk dengan berjalan kaki. Penjaga menyetop sambil mengarahkan termometer ke kening. Suhu tubuh penulis aman dan dipersilakan masuk. Gedung ini diwarnai ornamen khas Persia di bagian depannya. Di pintu utamanya terdapat vault yang berbentuk ala Muqarnas yang lazim di dalam arsitektur Islam. Pintu utamanya tinggi. Ada tangga yang harus dilalui untuk memasuki pintu itu. Di sayap kanan belakang gedung ada sebuah Mushala. Jumatan dilakukan di Aula utama gedung, bukan di Mushala. Sejauh ini kaum Syiah tidak mempunyai masjid di Jakarta. 

Aula itu mempunyai dua lapis pintu. Pintu pertama terbuat dari kaca, lalu pintu kedua dari bahan kayu dengan ukiran. Penulis tidak tahu apa jenis kayu dan ukirannya. Turun satu anak tangga, barulah kita sampai ke Aula yang dimaksud. 

Segera semerbak aroma pewangi ruangan khas timur tengah sampai ke hidung. Aula ini tidak terlalu besar. Lebarnya mungkin sekitar 12 meter dan panjang 20 meter. Beberapa bagian ditutupi karpet permadani khas Persia dan beberapa bagian dibiarkan terbuka. Dari obrolan dengan jamaah penulis mendapatkan keterangan bahwa biasanya seluruh lantai ditutupi karpet namun karena Covid19 sebagiannya dibiarkan tanpa karpet. Di bagian depan ada lantai yang ditinggikan sekitar 30 cm seperti sebuah panggung mini. Di sana ada podium, kursi, dan sebuah mimbar kayu dengan latar backdrop kaligrafi.

Di bagian belakang gedung ada tempat wudhu dan parkiran. Di parkiran terlihat tumpukan buku-buku. Sepertinya parkiran juga berfungsi sebagai gudang sementara. Di bagian tengah belakang, ada ornamen kolam dengan airnya. 

Khatib berkhutbah dengan menggunakan tongkat di tangan kanan

Di dalam gedung, jamaah sudah duduk di atas karpet. Ketika penulis masuk, ada beberapa puluh orang sudah duduk di sana. Sebagian dari mereka membaca Qur'an, sebagian yang lain duduk sendirian; mungkin berzikir. Beberapa di antaranya duduk berkelompok seperti sedang berbincang-bincang. Ustadz Abdullah Beik, salah seorang ustadz di sana menjelaskan bahwa biasanya ada 200-an jamaah yang menghadiri Jumatan. Namun kali ini karena sedang pandemi Covid jumlah jamaah dibatasi. 

Rak buku di bagian belakang Aula. Ada Alqur'an dan kitab-kitab

Tidak lama kemudian Ustadz Abdullah Beik berdiri. Ia tampil menggunakan setelah baju koko dan celana panjang ditutupi jubah Abaya sedangkan tangan kanannya memegang tongkat. Ia naik ke panggung yang ada podiumnya dan mengucap salam. Seorang Muazzin kemudian mengumandangkan azan. Khutbah berlangsung 2x. Di antara 2 khutbah, muazzin melantunkan ayat "Innallaaha wa malaikatahu yushalluuna alan nabi... " yang segera disambut oleh jamaah dengan shalawat sebanyak tiga kali. Hal ini berbeda dengan Jumatan yang biasa di Indonesia yang jamaahnya dituntut diam selama khutbah, di sini jamaahnya akan berseru shalawat 3x tiap kali nama Nabi Muhammad disebut. Begitu pula pada awal kedua khutbah saat khatib mengucap shalawat pembuka, jamaah pun menyambut dengan mengucap 3x shalawat. Pada khutbah kedua manakala kaum Sunni menyebut nama 4 khalifah, di sini yang disebut adalah nama 12 Imam dan Fatimah dan disambut gemuruh shalawat nabi. Setelah semua nama itu disebut semua jamaah berdiri sejenak untuk kemudian duduk kembali mendengarkan khutbah.

Apabila khutbah berakhir, khatib turun dari mimbar lalu pindah ke sajadah untuk Imam dan melantunkan iqamah. Ini berbeda dengan kebiasaan kita di Indonesia dimana iqamah dibacakan muazzin. Begitu iqamah dilantukan, jamaah mulai berdiri bersiap membuat shaf. Karena masih dalam pandemi covid 19, shafnya jarang-jarang. Di posisi sujud dibentangkan kain pita hijau sebagai panduan arah kiblat. Dan terdapat juga sekeping tanah untuk sujud. Menurut mereka, pada saat sujud kening harus menyentuh tanah. Biasanya mereka bertabarruk dengan tanah Karbala meski sebenarnya tidak harus menggunakan tanah dari sana. "Boleh menggunakan tanah mana saja." Jelas salah seorang jamaah. 

Shalat Jum'at berlangsung dua rakaat. Selama shalat posisi tangan mereka lurus ke bawah tidak bersedekap seperti di mazhab Syafii yang banyak di Indonesia. Setelah takbiratul ihram, Imam membaca Alfatihah dan surat pendek. Tidak ada doa iftitah sebelum Alfatihah dan ucapan 'Amin' sesudahnya. Begitu selesai surat pendek, Imam mengucap takbir, shalawat dan mengangkat tangan untuk qunut baru kemudian rukuk, iktidal, sujud, duduk di antara dua sujud, sujud lagi dan berdiri untuk rakaat kedua. Gerakan iktidal dan duduk di antara dua sujudnya lebih pendek durasinya dibandingkan gerakan yang sama di Sunni yang menganjurkan tuma'ninah. Selama rukuk dan sujud, imam membaca doanya secara nyaring sehingga penulis bisa mendengar bacaan rukuk dan sujudnya. Ketika rukuk mereka membaca 'Subhana rabbiyal Azhimi dst' dan ketika sujud membaca 'Subhana rabbiyal A'la dst.' 

Kontainer turbah di dinding. Jamaah bisa memakainya dan meletakkan kembali bila sudah selesai.

Rakaat kedua berlangsung sama seperti rakaat pertama. Dimulai dengan Alfatihah, surah pendek, rukuk, iktidal dan qunut, sujud, lalu tahiyat. Yang berbeda, jika di rakaat pertama qunutnya sebelum rukuk, di rakaat kedua qunutnya saat iktidal. Selepas sujud mereka membaca tahiyat yang urutan bacaannya sedikit berbeda dengan yang penulis pelajari saat di SD. Kenapa penulis bisa mengetahui bacaan tahiyatnya? Karena Imam membaca bacaan itu dengan suara nyaring. Jadi bila pada bacaan shalat orang Indonesia hanya dijaharkan pada saat Alfatihah dan surat pendek, maka di Syiah tampaknya semua bacaan termasuk bacaan rukuk, sujud, dan tahiyat juga dijaharkan.

Setelah tahiyat lalu mereka mengakhiri shalat dengan salam tanpa menoleh ke kiri dan kanan. Sesudah salam mereka bertakbir 3x sambil mengangkat tangan seperti takbiratul ihram 3x pula. Baru kemudian mereka wirid bersama dimulai dengan shalawat, zikir 33x dan doa. Setelah selesai wirid, Imam kembali berdiri membaca Iqamah. Ini adalah shalat Ashar berjamaah. Sesuai fiqh mereka, selepas shalat Zhuhur boleh langsung melaksanakan shalat Ashar.

Kita mengetahui bahwa di media sosial tersebar isu yang bermacam-macam tentang Syiah. Di antaranya adalah bahwa mereka tidak melaksanakan Shalat Jum'at, mereka shalat menyembah Ali, eksklusif, atau khutbah mereka berisi hujatan kepada pihak lain misalnya sahabat nabi. Namun setelah melihat dari dekat secara langsung ternyata penulis mendapatkan informasi yang berbeda dari yang tersebar di media sosial. Penulis tidak mendengar isi khutbah ataupun bacaan-bacaan yang berisi cacian atau hinaan seperti yang sering dihebohkan di media sosial. Pun juga tidak ada bacaan shalat mereka yang menunjukkan penyembahan kepada selain Allah. Begitupun tempat shalat mereka tidak eksklusif, bebas dimasuki siapapun dengan damai. []

Post a Comment

0 Comments

Recent Posts